Pages

UNIVERSITAS GUNADARMA

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kebudayaan Kalimantan Tengah Dan Ciri Khas

21 Okt 2014
Kalimantan Tengah


Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

Suku Dayak
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, tidak kenal menyerah atau pantang mundur.



1. Rumah Adat
Rumah adat Kalimantan Tengah dinamakan Rumah Betang, Bentuk rumahnya panjang, bawah kolongnya digunakan untuk pertenun dan menumbuk padi dan dihuni oleh lebih kurang 20 kepala keluarga.
Rumah terdiri dari 6 kamar antara lain untuk penyimpanan alat-alat perang, kamar untuk pendidikan gadis, tempat sesajian, tempat upacara adat dan agama, tempat penginapan dan ruang tamu. Pada kiri-kanan ujung atap dihiasi tombak sebagai penolak mara bahaya.



Rumah Betang (Rumah Panjang)

2. Pakaian Adat
Pakaian adatnya pria Kalimantan Tengah berupa kepala berhiasankan bulu-bulu enggang, rompi dan kain-kain yang menutup bagian bawah badan sebatas lutut. Sebuah tameng kayu hiasan yang khas bersama mandaunya berada di tangan. Perhiasan yang dipakai berupa kalung-kalung manik dan ikat pinggang.
Wanitanya memakai baju rompi dan kain (rok pendek), tutup kepala berhiaskan bulu-bulu enggang, kalung manik, ikat pinggang dan beberapa gelang tangan.




Pakaian Adat Kalimatan Tengah

3. Tari-tarian Daerah Kalimantan Tengah
a.Tari Tambun dan Bungai, merupakan sebuah tari yang mengisahkan kepahlawanan Tambun dan Bungai dalam mengusir musuh yang akan merampas panen rakyat.


Tari Tambun dan Bungai

b. Tari Balean Dadas, merupakan tarian guna memohon kesembuhan bagi mereka yang sakit.
c. Tari Sangkai Tingang, tari garapan yang memanfaatkan perbendaharaan gerak tari tradisi   ini menggambarkan sikap sekelompok wanita dalam mencintai lingkungan hidupnya. Mereka berusaha dan berdoa agar burung enggang yang indah itu tetap dilindungi kelestariannya.

4. Senjata Tradisional

Di Kalimantan Tengah senjata tradisionalnya adalah mandau. Bagian hulunya dihiasi ukiran burung tinggang, sejenis burung enggang. Menurut kepercayaan mereka, burung tinggang adalah penguasa seluruh alam. Senjata terkenal lainnya adalah lunjuk sumpit, randu (sejenis tombak) dan perisai.

5. Suku : Dayak, Ngaju, Maanyan, Dusun, Lawangan Bukupai
6. Bahasa Daerah : Dayak, Ngayu, Ot Danun, dan lain-lainnya.
7. Lagu Daerah : Kalayar, Palu Lempangpupoi.


5. Makanan Khas Kalimantan Tengah



juhu singkah adalah makanan khas masyarakat Dayak, Kalimantan Tengah, yang sangat lezat. Makanan ini bisa dijumpai di Kota Palangkaraya, Kalteng. Makanan yang terbuat dari umbut rotan ini lebih lezat bila dipadukan dengan ikan betok. Umbut rotan diperoleh warga dengan mencarinya di sekitar hutan tempat mereka tinggal.

Ciri Khas Upacara tiwah 

Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.

Kebetulan Tiwah menjadi suatu upacara yang unik ketika berada di tanah Tambun Bungai ini. Tiwah merupakan upacara terakhir dari rentetan upacara kematian bagi pemeluk agama Hindu Kaharingan. Upacara Tiwah digelar dan dilaksanakan oleh keluarga ( Dayak ) yang masih hidup  untuk anggota keluarganya yang telah meninggal dunia. Hampir sedikit banyak mirip dengan upacara adat Tana Toraja di Sulawesi Selatan.
Agama Kaharingan merupakan satu-satunya keyakinan bagi suku Dayak pada jaman dahulu yang masih dilesatarikan hingga saat ini, Kaharingan lebih cenderung pada keyakinan animisme dinamisme, hanya karena Indonesia mengenal 5 jenis agama pada jaman orde baru, sehingga orang-orang Kaharingan (agar mendapat KTP secara kependudukan) dikategorikan ke dalam agama Hindu. Dewasa ini, banyak orang Dayak Kaharingan yang beralih menjadi Kristen dan Islam, namun aktivitas adat tiwah ini masih dilakukan oleh mereka sebagai suatu kewajiban adat nenek moyang turun temurun.
Kata Tiwah berasal dari bahasa Sangiang, yaitu bahasa yang digunakan oleh Kaharingan di Kalimantan Tengah. Bahasa Sangiang biasanya digunakan oleh pemimpin  agama Kaharingan untuk memimpin suatu acara keagamaan. Upacara Tiwah menurut masyarakat Kalimantan Tengah pada umumnya menganggap ritual ini sebuah adat, tetapi menurut masyarakat pemeluk Kaharingan, tiwah merupakan proses mengantarkan arwah atau dalam bahasa Dayaknya liau ke surga atau  “Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang”, yang berarti sebuah tempat yang kekal atau abadi dan tempat itu berhiaskan emas, permata, berlian, dll.
basir, pemimpin upacara tiwah (c) Tira Maya Maisesa
Upacara Tiwah dipimpin oleh Basir atau Pisur. Istilah Basir dipakai di daerah Kahayan sedangkan Pisur di daerah Katingan. Pada umumnya upacara yang di pimpin oleh Basir relatif  lebih lama berkisar 2 bulan  dari pada upacara yang di pimping oleh Pisur.
Dalam kepercayaan Dayak Kaharingan, roh manusia yang meninggal tidak akan kembali dan bersatu dengan penciptanya tanpa melalui Upacara Tiwah. Hal ini yang membuat keluarga yang masih hidup terbebani untuk menjalankan ritual ini untuk keluarga mereka. Beberapa meyakini bahwa jika tidak meniwahkan keluarganya yang telah di kubur maka kehidupan mereka yang masih hidup akan miskin rejeki dan penuh masalah.
Dalam pelaksanaannya banyak sekali urutan upacara yang harus dilakukan oleh pelaksana dan para anggota pendukung upacaranya. Upacara ini dapat dikatakan terdapat unsur-unsur supranatural karena memang upacara ini adalah mempersatukan roh, oleh sebab itu urutan dalam pelaksanaannya tidak boleh diubah sekehendak hati namun harus sesuai dengan aturan upacara yang sudah ada dan tertulis.Upacara Tiwah pada umumnya dilakukan 5 tahun sekali, tetapi sesuai dengan kesepakan keluarga yang hendak melakukan upacara Tiwah. Tiwah harus dilaksanakan karena sebagai rasa tanggung jawab kepada arwah dan bertujuan untuk mengantarkan si arwah ke Lewu Tatau (surga).
Liau atau arwah disini di bagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1.    Balawang Panjang, contohnya seperti: rambut atau kuku.
2.    Karahang Tulang, contohnya: tulang belulang.
3.    Liau Haring Kaharingan adalah arwah atau roh yang sebenarnya
.
       seorang ibu mencuci tulang tengkorak putrinya
Pada seorang Dayak Ngaju mati, ritual pertama yang dilakukan adalah Mangubur, yaitu menghantar mayat ke tempat pekuburan yang dalam bahasa Dayak Ngaju dibahasakan sebagai Bukit Pasahan Raung (Bukit Tempat Meletakan Peti Mati). Pada ritual ini hamper sama dengan penguburan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kemudian Tantulak Ambun Rutas Matei yang bertujuan untuk menghantar Liau balawang panjang ganan bereng ke tempat yang bernama Lewu Balo Indu Rangkang Penyang. Ini adalah tempat penantian sementara yang konon terletak di pada tahapan ketiga dari Sorga. Upacara yang terakhir adalah Tiwah yaitu menyatukan kembali ketiga roh tadi dan menghantarkannya ke Sorga yang dikenal dengan Lewu Tatau
Membongkar kubur untuk di tiwahkan
Aktivitas Tiwah memang sangat unik, keluarga menggali kembali kubur keluarga yang telah lama meninggal, membuka kembali petinya dan mengambil satu persatu tulang belulang. Tulang belulang tersebut kemudian di cuci dan dibawa ke upacara. Kegiatan upacara ini memakan waktu yang cukup lama, termasuk ritual mengorbankan Kerbau, Babi dan Ayam. Mereka meyakini bahwa hewan yang dikorbankan tersebut akan membantu/melayani sang arwah menuju Surga terakhir. Pada akhirnya tulang belulang tersebut dimasukkan ke dalam Sandung. Biasanya dalam satu keluarga memiliki satu Sandung yang disediakan untuk berbagai tulang-belulang yang telah di tiwahkan.
maaf jika ada kesalahan terima kasih 


               http://t1r4.wordpress.com/2009/09/01/tiwah-dari-kisah-ritual-suku
               -dayak/

8 komentar:

  1. Koreksi, kalau upacara tiwah di sebut adat, maka semua agama bisa menjalankan nya. Tetapi upacara tiwah merupakan hukum kematian tingkat terakhir dalam agama kaharingan, bukan adat. Jika adat maka semua agama yang ada di kalimantan bisa melaksanakan tiwah, harap di pahami perbedaan adat dan ritual agama sebelum membuat postingan. Terima kasih

    BalasHapus
  2. bener tuh mas bedakan dong adat dengan ritual agama

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. maaf boleh tanya, ada bandra pangkalan air sampit nggak d kalteng?

    BalasHapus
  5. yahh kuliner nya tambahin lagi dong, jadi bar ada referensi kuliner buat liburan kesana

    http://www.marketingkita.com/2017/08/pengertian-distributor-umum-dalam-ilmu-marketing.html

    BalasHapus
  6. Sangat bermanfaat,terima kasih.

    BalasHapus